Langsung ke konten utama

Fatherless Family: Ketika Ayah Hanya Tahu Cari Uang Saja?

Mengasuh anak sejatinya adalah tanggung jawab utama orang tua, bapak dan ibu. Namun ada juga pandangan menurut beberapa orang yang beranggapan bahwa mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga adalah tugas ibu. Sedangkan peran bapak hanyalah pencari nafkah saja, sehingga bapak tidak banyak berperan dalam parenting bahkan sangat minim. Fatherless family , sebuah label yang diberikan kepada sebuah keluarga dimana peran ayah dalam pengasuhan anak dikeluarga tersebut yang minim baik secara fisik maupun psikis. Fatherless merupakan kombinasi dari jarak secara fisik dan emosional antara ayah dan anaknya. Pandangan anak tentang keterlibatan ayahnya menandakan esensi dari peran ayah dalam kehidupan anak. Benarkah seperti itu? Feel You akan mencoba membahas fenomena fatherless family . Mengapa fatherless family bisa terjadi? Di negara barat Peningkatan jumlah orang tua tunggal disebabkan oleh meningkatnya perceraian. Adanya perubahan sosial juga berkontribusi terhadap peningkatan kondisi

KDRT: Lingkup, Bentuk, dan Faktor yang Mempengaruhi

Belakang ini isu KDRT sedang banyak dibahas di media. Mulai munculnya informasi mengenai kasus KDRT yang dialami oleh Lesti Kejora. Tidak lama setelah itu, muncul sebuah konten prank laporan KDRT di Youtube oleh Baim Wong dan Paula. Atau apakah kamu pernah mendengar kasus KDRT yang dialami oleh Johnny Depp?

Tulisan Feel You kali ini tidak akan membahas mengenai situasi selebriti-selebriti tersebut ya. Sebenarnya apa sih KDRT itu? Perilaku apa saja yang sudah termasuk KDRT? Apakah korban KDRT itu selalu perempuan?

Definisi

KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) juga sering dikenal domestic violence (kekerasan domestik). Menurut UU No. 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT),

"Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga." 

Nah, apakah KDRT hanya melingkupi hubungan antara suami dan istri saja? Masih menurut UU No.23 Tahun 2004, ternyata lingkup rumah tangga meliputi:

  1. suami, istri, dan anak;
  2. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada point 1 karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
  3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada point 3 dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Jadi sudah jelas ya, korban KDRT bisa saja suami, istri, atau anggota keluarga lain.

Source: DCStudio on freepik.com

Jumlah Kasus

Dikutip dari MetroTVNews.com (2022), sampai dengan Oktober 2022 terdapat 18.261 kasus KDRT di Indonesia. Di mana sebesar 79,5% atau sebanyak 16.745 korbannya adalah perempuan. Sebanyak 2.948 korbannya adalah laki-laki.

Bentuk KDRT

Menurut UU No. 23 Tahun 2004, ada empat bentuk kekerasan dalam rumah tangga: 1) kekerasan fisik, 2) kekerasan psikis, 3) kekerasan seksual, 4) penelantaran rumah tangga.
Nah Feel You coba jelasin satu per satu ya.

Kekerasan fisik

Menurut UU No. 23 Tahun 2004 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Menurut Crowell & Burgess dalam Carol dkk (2010), kekerasan fisik mencakup perilaku mendorong, menampar, memukul, menendang, menggigit, mencekik, membakar, penggunaan senjata, atau tindakan lain yang mengakibatkan cedera atau kematian korban.

Kekerasan psikis

Kekerasan psikis menurut UU No.23 Tahun 2004 adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Menurut Murphy & Cascardi, kekerasan psikologis merupakan kekerasan non fisik berupa tindakan paksaan (coercive) atau permusuhan (aversive) yang dimaksudkan untuk menimbulkan luka emosional atau ancaman bahaya.

Menurut Maiuro, kekerasan psikologis berupa: a) merendahkan citra (self-image) atau harga diri (self-esteem) orang lain, b) pasif-agresif menahan dukungan dan pengasuhan emosional, c) perilaku mengancam eksplisit dan implisit, d) membatasi wilayah pribadi dan kebebasan (Caroll dkk, 2010).
Santoso (2019) menyebutkan perilaku seperti mengancam, mengintimidasi, mencaci maki/penghinaan, bullying dan lain sebagainya.

Kekerasan seksual

Kekerasan seksual menurut UU No.23 Tahun 2004 meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sedangkan Koss & Achilles berpendapat bahwa kekerasan seksual mengacu pada tindakan penetrasi atau sentuhan seksual yang tidak diinginkan yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau ketika korban tidak mampu atau tidak dapat memberikan persetujuan atau consent (Caroll dkk, 2010).

Penelantaran rumah tangga

Dikutip dari UU No.23 Tahun 2004, penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga adalah tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian itu wajib untuk diberikan.

Pada UU tersebut juga disebutkan penelantaran rumah tangga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

Santoso (2019) berpendapat bahwa penelantaran bukan hanya secara finansial (tidak memberi nafkah, tidak mencukupi kebutuhan, dll) namun juga penelantaran secara umum yang menyangkut hidup rumah tangga (pembatasan kesehatan dan pendidikan, tidak memberikan kasih sayang, kontrol yang berlebihan, dll).

Source: rawpixel.com on freepik.com

Faktor KDRT

Adanya banyak ahli yang menjelaskan tentang faktor-faktor terjadinya KDRT. Salah satunya Howard (2010) yang mengatakan riwayat kekerasan masa kanak-kanak diidentifikasi sebagai faktor risiko kekerasan dalam rumah tangga dimasa dewasa, selain itu menyaksikan kekerasan orang tua dan kemiskinan juga menjadi faktor.

Kurangnya komunikasi, ketidakharmonisan, alasan ekonomi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun, dan kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba (Wahab, 2006).

Peneliti lain, Pangemanan dalam Alimi (2021), mengungkapkan terdapat faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, berikut:

  1. Terdapat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Budaya patriarki membuat laki-laki memiliki kuasa yang lebih tinggi dibanding perempuan, setelah menikah perempuan dianggap sebagai milik suami. Sehingga hal itu menimbulkan ketimpangan karena suami memiliki kuasa lebih terhadap istri.
  2. Ketergantungan ekonomi. Budaya patriarki memberi pandangan bahwa istri seharusnya bergantung pada suami. Fenomena itu membuat sebagian istri tidak terbiasa untuk mandiri atau berdaya secara ekonomi. Alhasil ketika KDRT terjadi membuat istri bertahan.
  3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik. Kekerasan dilakukan dengan tujuan istri dapat memenuhi harapan suami tanpa melakukan perlawanan.
  4. Persaingan. Budaya membuat pandangan bahwa laki-laki tidak boleh kalah atau lebih rendah dari perempuan, sehingga ketika terjadi kekerasan terhadap istri hanya untuk memenuhi ego laki-laki atau suami.
  5. Frustasi. Kekerasan terjadi karena lelah secara psikis sehingga menciptakan frustasi diri dan kurangnya kemampuan coping stress suami. Frustasi muncul karena ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan.
  6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum.

Nah setelah membaca tulisan tadi, bagaimana pendapatmu mengenai isu KDRT, Feels?

Sources
Alimi, Rosma (2021). Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan. Jurnal Pengabdian dan Penelitian Kepada Masyarakat, 20-27.

Carol, E. Jordan, Campbell, Rebecca., & Follingstad, Diane. (2010). Violence and Women's Mental Health: The Impact of Physical, Sexual, and Psychological Aggression. Annu. Rev. Clin. Psychol, 607-628.

Howard, Louise, M., Trevillion, Kylee., & Davies, Roxane Agnew. (2010). Domestic Violence and Mental Health. International Review of Psychiatry, 525-534.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 95. Sekretariat Negara. Jakarta

MetroTVNews.com. (2022, Oktober 4). KemenPPPA Rilis Data Jumlah Kasus KDRT di Indonesia hingga Oktober 2022. Dipetik Oktober 11, 2022, dari https://www.metrotvnews.com/play/b2lCrdXL-kemenpppa-rilis-data-jumlah-kasus-kdrt-di-indonesia-hingga-oktober-2022

Santoso, Agung Budi. (2019). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap Perempuan: Perspektif Pekerjaan Sosial. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 39-57.

Wahab, Rochmat. (2006). Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif. UNISIA, 247-256.

Suara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fatherless Family: Ketika Ayah Hanya Tahu Cari Uang Saja?

Mengasuh anak sejatinya adalah tanggung jawab utama orang tua, bapak dan ibu. Namun ada juga pandangan menurut beberapa orang yang beranggapan bahwa mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga adalah tugas ibu. Sedangkan peran bapak hanyalah pencari nafkah saja, sehingga bapak tidak banyak berperan dalam parenting bahkan sangat minim. Fatherless family , sebuah label yang diberikan kepada sebuah keluarga dimana peran ayah dalam pengasuhan anak dikeluarga tersebut yang minim baik secara fisik maupun psikis. Fatherless merupakan kombinasi dari jarak secara fisik dan emosional antara ayah dan anaknya. Pandangan anak tentang keterlibatan ayahnya menandakan esensi dari peran ayah dalam kehidupan anak. Benarkah seperti itu? Feel You akan mencoba membahas fenomena fatherless family . Mengapa fatherless family bisa terjadi? Di negara barat Peningkatan jumlah orang tua tunggal disebabkan oleh meningkatnya perceraian. Adanya perubahan sosial juga berkontribusi terhadap peningkatan kondisi

Cinta Bukan Cuma Romantis Saja, Ini Bentuk Lainnya Menurut Psikologi

Berbicara tentang cinta, banyak sekali maknanya menurut setiap orang dengan pengalamannya masing-masing. Tapi cinta itu apa sih ? Apakah cinta hanya untuk hubungan romantis dengan pasangan saja? Apakah ada bentuk cinta yang lain? Bagaimana juga dengan cinta kepada teman-teman atau bahkan kepada Tuhan? Berikut ini adalah bentuk-bentuk cinta menurut tokoh psikologi, Rollo May, yang Feel You tulis buat kamu Feels. 1. Sex Seks adalah fungsi biologis yang dapat dipuaskan melalui hubungan seksual atau pelepasan ketegangan seksual lainnya. 2. Eros Terjadi kebingungan perbedaan antara eros dan seks. Seks merupakan kebutuhan fisiologis yang mencari kepuasan melalui pelepasan ketegangan. Berbeda dengan seks, eros merupakan dorongan psikologis yang menginginkan hubungan seksual melalui pernikahan yang langgeng dengan orang yang kita cintai. Eros is making love, sex is manipulating organs . Eros berorientasi pada hubungan yang awet, sedangkan seks adalah keinginan untuk merasakan kesenangan. Eros

5 Isu Penting Hubungan dengan Mertua dan Bagaimana Menyikapinya

Ketika kamu berpikir bahwa setelah menikah nanti hanya akan ada kamu dengan pasanganmu saja, pemikiran tersebut salah besar. Mungkin selama beberapa hari setelah pesta pernikahan iya, hanya ada kamu dan pasanganmu saja untuk menghabiskan moment honeymoon . Namun setelahnya, tentu keluarga dari pasanganmu berekspektasi bahwa mereka juga bagian dari hidupmu. Beberapa budaya non-barat, keterlibatan orang tua lebih menonjol dan terang-terangan. Pada beberapa pasangan setelah menikah, istri akan ikut tinggal bersama suami dan orang tua suami tanpa batas waktu tertentu. Sedangkan pada budaya barat, hubungan dengan mertua tidak terbentuk secara kaku namun tetap ada. Tidak bisa dipungkiri ketika seseorang menikah, dirinya akan menjadi bagian dari keluarga besar pasangannya. Bisa dikatakan bahwa kita juga menikahi sebuah keluarga, termasuk kebaikan dan keburukannya. Bagaimana baik atau buruknya, dekat atau jauhnya hubungan kita dengan keluarga pasangan bergantung pada kesempatan atau moment yan