Mungkin selama ini yang kita tahu dalam proses perceraian pada pasangan suami dan istri adalah proses yang dilalui secara hukum yang berakhir secara resmi dengan sebuah keputusan hukum melalui pengadilan. Namun menurut pendapat ahli psikologi keluarga, sebenarnya ketika pasangan suami dan istri memutuskan untuk bercerai, sebelumnya ada beberapa tahap proses yang telah terjadi. Itu artinya, perceraian adalah sebuah "akhir" dari proses tersebut dan terdapat kejadian atau situasi yang memicu perceraian.
Menurut Paul Bahanon, ahli psikologi keluarga, terdapat beberapa tahapan pada proses perceraian. Feel You akan jelaskan pada tulisan kali ini.
Perceraian finansial (financial divorce)
Ketika sudah bercerai, seorang mantan istri tidak lagi mempunyai hak untuk mendapatkan jatah uang untuk belanja keperluan keluarga dari mantan suami. Terkecuali perihal keuangan yang akan digunakan untuk membiayai anak-anak. Meskipun telah bercerai, seorang ayah tetap memiliki kewajiban untuk merawat, membiayai, serta mendidik anak-anaknya. Orang tua tetap memiliki kewajiban untuk membiayai dan merawat anak-anaknya sampai dengan anak tersebut mandiri atau mencapai usia tertentu (misal usia 24 tahun, setelah lulus dari pendidikan sarjana).
Perceraian koparental (coparental divorce)
Pasangan yang telah bercerai dan hidup terpisah, tidak akan lagi mempunyai kebersamaan dalam mengasuh anak-anaknya. Namun perceraian tidak merubah kewajiban mereka sebagai orang tua. Biasanya mereka akan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama terkait tugas pengasuhan anak-anak. Hal ini dilakukan agar anak-anak mereka tetap mendapatkan dan merasakan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.
Namun dalam kenyataannya, tidak jarang orang tua yang telah bercerai merasa kecewa, terluka, bahkan depresi. Hal tersebut mengakibatkan mereka tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai orang tua secara maksimal. Peristiwa perceraian membayangi pikiran dan perasaan orang tua. Tidak jarang berpengaruh pada komitmen dalam melaksanakan tugas pengasuhan, sehingga anak-anak terabaikan.
Baca juga: Inilah Penyebab Perceraian dalam Pernikahan Menurut Psikologi
Perceraian hukum (law divorce)
Perceraian secara resmi ditandai dengan keputusan hukum melalui pengadilan. Dengan keputusan tersebut, baik mantan pasangan suami dan istri mempunyai hak yang sama dalam menentukan masa depan kehidupannya tanpa dipengaruhi pihak lain termasuk menikah kembali dengan orang lain yang dianggap cocok dengan dirinya. Selain itu, dengan keputusan resmi yang ada, mantan pasangan suami dan istri mendapatkan status sebagai janda atau duda.
Perceraian komunitas (community divorce)
Menikah merupakan usaha untuk menyatukan dua komunitas budaya, adat kebiasaan, sosial kekerabatan, kepribadian yang berbeda menjadi satu. Ketika lelaki dan perempuan menikah, mereka dinilai bukan sebagai dua individu yang berbeda. Mereka menganggap dirinya sebagai satu kesatuan dan apa yang dimiliki akan menjadi milik bersama. Ketika terjadi perceraian, mereka akan kembali pada komunitas masing-masing. Mereka mungkin tidak lagi berkomunikasi maupun berhubungan dengan pihak-pihak keluarga maupun kolega dari mantan pasangannya.
Perceraian psiko-emosional (psycho-emotional divorce)
Hidup dalam satu rumah atau bertemu secara fisik bukanlah tolak ukur keutuhan hubungan suami dan istri. Ada masanya pasangan suami dan istri tidak merasa dekat atau jauh secara emosional satu sama lain meskipun mereka masih tinggal dalam satu rumah sebelum bercerai. Masing-masing dapat bersikap cuek, tidak mau berkomunikasi, serta tidak saling memberikan kasih sayang.
Perceraian fisik (physical divorce)
Ketika sudah bercerai, seorang mantan istri tidak lagi mempunyai hak untuk mendapatkan jatah uang untuk belanja keperluan keluarga dari mantan suami. Terkecuali perihal keuangan yang akan digunakan untuk membiayai anak-anak. Meskipun telah bercerai, seorang ayah tetap memiliki kewajiban untuk merawat, membiayai, serta mendidik anak-anaknya. Orang tua tetap memiliki kewajiban untuk membiayai dan merawat anak-anaknya sampai dengan anak tersebut mandiri atau mencapai usia tertentu (misal usia 24 tahun, setelah lulus dari pendidikan sarjana).
Pasangan yang telah bercerai dan hidup terpisah, tidak akan lagi mempunyai kebersamaan dalam mengasuh anak-anaknya. Namun perceraian tidak merubah kewajiban mereka sebagai orang tua. Biasanya mereka akan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama terkait tugas pengasuhan anak-anak. Hal ini dilakukan agar anak-anak mereka tetap mendapatkan dan merasakan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya.
Namun dalam kenyataannya, tidak jarang orang tua yang telah bercerai merasa kecewa, terluka, bahkan depresi. Hal tersebut mengakibatkan mereka tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagai orang tua secara maksimal. Peristiwa perceraian membayangi pikiran dan perasaan orang tua. Tidak jarang berpengaruh pada komitmen dalam melaksanakan tugas pengasuhan, sehingga anak-anak terabaikan.
Baca juga: Inilah Penyebab Perceraian dalam Pernikahan Menurut Psikologi
Perceraian secara resmi ditandai dengan keputusan hukum melalui pengadilan. Dengan keputusan tersebut, baik mantan pasangan suami dan istri mempunyai hak yang sama dalam menentukan masa depan kehidupannya tanpa dipengaruhi pihak lain termasuk menikah kembali dengan orang lain yang dianggap cocok dengan dirinya. Selain itu, dengan keputusan resmi yang ada, mantan pasangan suami dan istri mendapatkan status sebagai janda atau duda.
Menikah merupakan usaha untuk menyatukan dua komunitas budaya, adat kebiasaan, sosial kekerabatan, kepribadian yang berbeda menjadi satu. Ketika lelaki dan perempuan menikah, mereka dinilai bukan sebagai dua individu yang berbeda. Mereka menganggap dirinya sebagai satu kesatuan dan apa yang dimiliki akan menjadi milik bersama. Ketika terjadi perceraian, mereka akan kembali pada komunitas masing-masing. Mereka mungkin tidak lagi berkomunikasi maupun berhubungan dengan pihak-pihak keluarga maupun kolega dari mantan pasangannya.
Hidup dalam satu rumah atau bertemu secara fisik bukanlah tolak ukur keutuhan hubungan suami dan istri. Ada masanya pasangan suami dan istri tidak merasa dekat atau jauh secara emosional satu sama lain meskipun mereka masih tinggal dalam satu rumah sebelum bercerai. Masing-masing dapat bersikap cuek, tidak mau berkomunikasi, serta tidak saling memberikan kasih sayang.
Sebuah kondisi dimana mantan pasangan suami dan istri sudah tidak lagi tinggal bersama serta menjauhkan diri dari mantan pasangan hidupnya. Mereka tidak lagi bertemu dan berkomunikasi secara intens. Perceraian fisik ini terjadi setelah adanya putusan resmi secara hukum.
Sources
Dariyo, Agoes. (2004). Memahami Psikologi Perceraian dalam Kehidupan Keluarga. Jurnal Psikologi, 94-100.
Komentar
Posting Komentar